Wednesday, August 16, 2006

Komunikasi Gender

Angkatan 2004 Pasca Kuliah Komunikasi Gender: Catatan Non-Krusial si Anak Bodoh
ditulis oleh andin df tanpa tendensi apapun kecuali murni keisengan belaka

Kuliah Komunikasi Gender telah berakhir dengan beberapa bungkus permen Alpenliebe dan biskuit rasa lemon pada tanggal sekian sekian (saya agak lupa), tetapi adakah Mbak Tyas dan Mas TL tahu bahwa efeknya ternyata sangat terasa hingga sekarang? Dalam catatan ini saya mencoba membingkainya (semenjak kuliah Gender saya sangat suka kata ‘bingkai’ entah kenapa) dalam kalimat-kalimat yang mungkin kadang terasa kurang relevan disana sini, yang mana saya harap hal itu akan mendapat pemakluman karena penulisnya memiliki pikiran yang suka berlarian kesana kemari.. :) Demikianlah semua orang memiliki keterbatasannya sendiri-sendiri.
Ketika Menuliskan ‘Komunikasi Gender’ dalam KRS
Ada banyak alasan, saya rasa, yang melatarbelakangi mahasiswa angkatan 2004 memilih mata kuliah Komunikasi Gender. Misalnya saja, seorang teman memilih mata kuliah ini gara-gara melihat iklan yang dipasang di jurusan. Iklan yang cukup provokatif dan disain grafis yang mencolok mata (dalam arti yang tidak sebenarnya). Bunyinya kalau tidak salah begini: ‘Tertarik membaca perempuan dalam televisi dan media massa? Bergabunglah dengan kelas Komunikasi Gender!’ Lalu di bawahnya ada nama-nama dosen yang akan mengampu. Teman-teman yang sudah sejak lama tertarik pada masalah perempuan, segera memutuskan bergabung dengan kelas. Ada lagi seorang dua orang teman yang mengambil mata kuliah ini karena nama besar mas TL (serius) yang imejnya “asyik, nyentrik, nggak pernah marah, tapi selalu ngasih tugas take home, dan kalo ngajar sering ngomongin hal-hal yang asing bagi otak mahasiswanya” seorang kakak angkatan pernah meringkas mas TL dalam satu kalimat pendek “ah, mas TL itu hanya nyambung sama yang ngerti.” Kalo Mbak Tyas, karena belum pernah diajar langsung jadi angkatan 2004 kurang mempunyai bayangan. Nah, ada juga teman yang mengambil mata kuliah ini tanpa prasangka apa-apa, bahasa pop-nya “pengen aja”. Sementara beberapa teman yang enggan mengambil Komunikasi Gender dapat dibagi menjadi dua kubu: mereka yang tidak tertarik dan mereka yang tidak suka membaca..
Ngomong-ngomong Tentang Baca…
Perkuliahan dimulai. GONG! Sejak awal, tidak ada yang menyesal mengambil mata kuliah ini. Semuanya senang karena atmosfer kelas yang berbeda dari kelas-kelas pada umumnya. Setelah melalui pengamatan yang cukup panjang, saya membagi penyebab ini menjadi 2 hal, yaitu (1) hal-hal yang dibicarakan di kelas relevan dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dulu, tidak begitu mudah bagi kami mencari relevansi antara makalah-makalah panjang “Pengantar Ilmu Komunikasi” berbahasa Inggris milik Bu Evie dengan kehidupan nyata, tapi kuliah gender ini berbeda. Ketika membicarakan tentang, misalnya, iklan krim pemutih dan bagaimana itu merupakan usaha konstruksi kecantikan terhadap kaum perempuan, mau tak mau kami langsung merefleksikannya dalam pengalaman sendiri. Rasa tertarik sangat besar, untuk pertama kalinya kami semua mengerti makna “intelectually horny”. Efek mengantuk yang biasanya selalu muncul setiap kuliah tiba-tiba hilang, banyak otak tercerahkan, dan semua menjadi terlatih berpikir kritis; dan (2) jika biasanya kami selalu dikultivasi oleh pihak dosen (“ini lho yang benar, catat, telan, hafalkan, biar nilaimu bagus dalam ujian”), dalam kelas gender kami dibebaskan memiliki pendapat sendiri. Dan pendapat itu tidak harus sama dengan pendapat mas TL atau Mbak Tyas. Ini hal yang luar biasa! Setelah lama dibungkam akhirnya kami boleh punya opini sendiri. Saya juga mencatat bahwa sikap mengajar Mbak Tyas dan Mas TL ini berpengaruh pada teman-teman, semuanya menjadi lebih open minded dan menyadari bahwa, seperti kata Achdiat K Mihardja dalam bukunya Atheis, kebenaran terlalu besar untuk dimonopoli hanya oleh satu orang.
Sekarang bicara tentang baca. Bukannya kami tidak pernah membaca sebelumnya, tapi apa yang kami baca sebelum kuliah gender adalah bacaan-bacaan yang tidak begitu melatih otak. Tentu saja ini tidak semuanya. Saya kenal beberapa teman yang memang pada dasarnya sudah suka membaca buku-buku sosial atau filsafat yang berat (dua di antaranya mengaku menjadi seperti itu setelah mengikuti kelas filsafat mas TL, hahaha.. u should be responsible for that) tapi mayoritas hanya membaca novel ringan, majalah, atau.. kitab suci. Namun setelah kuliah gender, semua berubah. Zapp! Angkatan 2004 mendadak intelek. Dimana-mana terdengar teman membicarakan feminisme liberal, radikal, postfeminis, feminisme marxis, Simone de Beauvoir, Kate Millet, Rosemary Putnam Tong, Aquarini, dll. Saya mencatat bahwa perubahan ini terjadi mulai Mbak Tyas menyuruh kami mengumpulkan kertas yang berisi judul dan proposisi. Oh ya, saya juga mengamati bahwa banyak yang menuliskannya ‘preposisi’ sehingga saya jadi bingung sendiri sebab bukankah ‘preposisi’ bermakna ‘kata depan’? Tapi terlepas dari kecerobohan linguistik itu, kami semua boleh berbangga hati: angkatan 2004 sedang memasuki masa aufklarung! :) Fenomena menekuni bacaan berat ini membuat lingkungan sekitar kami terheran-heran. Jika biasanya percakapan di kantin berbunyi, “eh, gue pinjem novel teenlit elo dong” sekarang menjadi “besok bisa minjem Feminist Thought nggak? by the way, tentang ideologinya Althusser tuh gimana sih..” Hal ini cukup membanggakan buat saya karena tidak menyangka bahwa teman-teman yang tadinya saya kira cuma bisa nongkrong ternyata bisa juga intelek kalau mereka mau. Saya sangat terharu. Walaupun demikian, ada juga efek buruknya. Teman-teman yang belum mengambil Komunikasi Gender menjadi sedikit terintimidasi dengan perubahan kami. Mereka langsung berprasangka bahwa kuliah ini sangat berat. Banyak baca. Banyak fotokopi. Banyak konsul. Bingung menentukan proposisi, belum lagi argumen pendukung dan kontra, dengan teori-teori yang memusingkan, kata mereka. Malah seorang teman dari Sampit berikrar tidak mau mengambil mata kuliah ini karena trauma melihat teman sekosnya mengetik hingga jam 2 pagi, menyelesaikan makalah mid semester. Lucu memang, sebab bukankah itu kesalahan manajemen waktu sang teman? Namun ketika kami berupaya menghibur dengan berkata “kuliahnya nggak berat kok, malah asyik, pokoknya pas banget untuk kawula muda” mereka tidak mau percaya. Memang cukup sulit mengubah sesuatu kalau belum apa-apa sudah berprasangka.. Tapi mudah-mudahan semester-semester ke depannya akan makin banyak mahasiswa yang tertarik mengambil Komunikasi Gender, karena kuliah ini terbukti bagus untuk kesehatan jiwa dan menumbuhkan minat baca. Angkatan 2004 sudah membuktikannya.
Mengenai presentasi. Saya mencatat bahwa presentasi, sadar atau tidak, mencerminkan karakter masing-masing. Ini hal yang menarik sekaligus lucu. Jika biasanya teman-teman enggan disuruh presentasi, dalam mata kuliah ini mayoritas justru menginginkannya! :) Saya katakan mayoritas karena ada saja teman yang mengerjakan segalanya seadanya tanpa passion apa-apa. Aufklarung tetap terlalu mewah untuk bisa menyentuh semuanya. Tapi sebagian besar ingin membagikan pikirannya, hasratnya, dan hal-hal baru yang ditemukannya. Ini sebuah niatan yang cukup mulia. Meski begitu, demikian saya mengamati, ada percik-percik psikologis tercium disini. Hasrat presentasi sebenarnya cerminan dari hasrat untuk menunjukkan bahwa “saya sudah bekerja keras, inilah hasilnya!!” Ini bisa dilihat dari teman-teman yang menurut saya try too hard to impress. Sudah menggunakan LCD masih ngotot menggunakan OHP. Bicara berpanjang-panjang sehingga sinopsisi film malah jadi ajang story telling. Tidak mau dikritik karena merasa makalahnya paling benar, membuat acara diskusi jadi mirip debat kusir. Gila hormat, melihat teman berbisik-bisik sedikit langsung berkata “yang disana, bisa diam enggak?” Bahkan Mbak Tyas dan Mas TL saja jarang bicara seperti itu jika tidak sangat keterlaluan. Ada lagi yang gila pujian, minta “ditepuk tangani” karena merasa makalahnya paling sip, paling ilmiah, paling tinggi nilainya. Dan, terakhir, ada yang selaluuuu bertanya tiap sesi, bukan karena ingin tahu tapi lebih karena ia ingin menunjukkan dirinya sebagai orang yang kritis di setiap situasi. Hal-hal seperti ini membuat saya sedikit sedih dan muram. Perasaan bangga karena pencerahan menjadi sedikit terdistorsi. Tapi sudahlah, inilah yang dinamakan rupa-rupa sifat manusia..
Pasca Kuliah Gender
Kami semua mengakhiri kuliah gender dengan berat hati. Selain karena lama kelamaan merasa asyik dengan segala diskusi dan pencerahan yang didapat, kelas gender juga adalah kelas dimana kami dibebaskan memakai kaus.. :) Seperti saya yang memakai kaus merah bergambar bendera Union Jack saat menjadi moderator, satu hal yang pasti membuat Bu Ayie marah-marah dan mengusir saya keluar. Mbak Tyas juga cukup fashionable dan tidak konservatif dalam berpakaian. Membuat kami mengusir jauh-jauh bayangan baju standar dosen yang serba kaku. Akan halnya dengan Mas TL, saya kira tidak perlu dijelaskan lagi. Rambut gondrongnya sudah terkenal dimana-mana sebagai simbol perlawanan terhadap ideologi dominan.. hahaha.
Nyaris semua teman mendapat nilai yang memuaskan. Nilai yang membuat IP kami terselamatkan.. :) Namun bagaimana dengan bacaan? Boleh percaya boleh tidak, beberapa teman mem-follow up minatnya terhadap gender dengan membeli buku-buku yang relevan. Inilah yang saya sebut dengan ketulusan dalam mencari ilmu pengetahuan. Bukan demi nilai bagus, tapi murni karena keingintahuan. Betapa bahagianya. Saya rasa Mbak Tyas dan Mas TL (yang selalu membuat kami tersenyum senang karena metode team teaching yang kompak, meski tidak selalu sependapat) patut berbangga hati bahwa kelas gender menjadi cikal bakal minat baca dan menganalisa kami semua.
Meski begitu, ada juga beberapa teman yang jadi eneg jika membicarakan hal-hal yang berbau gender. Perhatikan percakapan berikut sebagai contoh:
A : ambilin minum dong
B : ambil sendiri dong, dasar patriarkis
A : alah males, orang kuliah gendernya udah lewat kok masih ngomong gitu
Ada juga teman yang saling memanggil dengan nama tokoh pencetus teori yang digunakannya dalam paper. Jadi jangan heran jika suatu hari terdengar adegan sapa-menyapa seperti ini:
A : hei althusser!
B : hei juga marx!
Memang terasa lucu, tapi itulah yang benar-benar terjadi. Ada pula teman yang memotong rambutnya sehingga menjadi miriiiip sekali dengan Mbak Tyas sehingga kami semua memanggilnya dengan sebutan “Mbak Tyas wannabe”. Kebetulan ia memiliki sahabat akrab yang berambut panjang sehingga jika sedang berjalan dari belakang mereka terlihat seperti pasangan Mbak Tyas dengan Mas TL.. hehehehe.
Sebagai penutup, marilah kita mengintip sejenak lagu Richard Ashcroft yang saya rasa layak dijadikan kesimpulan:

Into this brave new world,
I hope i see you in the other side
of this changing world.
Baby when my ship pulls in
i try to believe in anyone,
look at the state I'm in.

(semarang, agustus 2006, andien df)
ditulis dgn gaya bahasa mahasiswa shg menggunakan kata 'saya' dan bukan 'gua'